Dalam sejarah pemikiran dunia Islam dan bangsa-bangsa terjajah, kita sering menemukan tokoh-tokoh yang lahir dari kondisi krisis, lalu menawarkan jalan baru untuk keluar dari kegelapan. Dua di antaranya adalah Tan Malaka di Indonesia dan Ali Syariati di Iran.
Mereka hidup di zaman berbeda, dengan latar yang jauh, tetapi kegelisahan mereka punya benang merah: bagaimana manusia dan bangsa bisa merdeka secara sejati.
Tan Malaka dan
Madilog
Tan Malaka (1900–1949) lahir di tengah penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia kala itu masih terikat pada mistik, feodalisme, dan takhayul, sehingga sulit bangkit melawan kolonialisme.
Dalam bukunya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), ia menekankan:
- Rakyat harus berpikir logis dan ilmiah, bukan lagi tunduk pada mitos.
- Ilmu pengetahuan adalah senjata untuk kemerdekaan.
- Revolusi sejati tidak hanya politik, tapi juga revolusi cara berpikir.
Dengan Madilog, Tan Malaka ingin mengubah pola pikir rakyat Indonesia dari “percaya nasib” menjadi “menguasai nasib”.
Ali Syariati dan Revolusi Islam
Ali Syariati (1933–1977) tumbuh dalam Iran modern di bawah Shah Pahlavi. Di sana, rakyat dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menjerat:
- Islam tradisional yang kaku dan pasif.
- Westernisasi ala Barat yang mengasingkan dari akar budaya.
Syariati menawarkan Islam sebagai ideologi pembebasan. Dalam karya-karyanya seperti Tugas Cendekiawan Muslim, Fatimah adalah Fatimah, dan Syahadah, ia menyerukan:
- Islam harus kembali ke semangat revolusioner, bukan sekadar ritual.
- Cendekiawan bertugas membangkitkan kesadaran rakyat.
- Pengorbanan (syahadah) adalah jalan menuju keadilan sosial.
Titik Temu dan Perbedaan
Keduanya sama-sama resah melihat bangsanya:
- Tan Malaka: lawannya kolonialisme + mistik.
- Syariati: lawannya sekularisme Barat + tradisionalisme beku.
Maka strategi mereka pun berbeda:
- Tan Malaka: senjata utamanya sains, logika, dan materialisme dialektis.
- Syariati: senjata utamanya agama, simbol Islam, dan kesadaran spiritual.
Namun, tujuan akhirnya sama:
👉 membebaskan manusia dari belenggu, agar bisa hidup merdeka dan bermartabat.
Penutup
Membandingkan Madilog dan karya-karya Ali Syariati menunjukkan satu hal penting: setiap zaman melahirkan kebutuhan pemikiran yang berbeda.
- Di Indonesia kolonial, sains dan logika adalah senjata revolusi.
- Di Iran modern, Islam progresif menjadi bendera perjuangan.
Keduanya memberi pelajaran bahwa pembebasan sejati selalu lahir dari keberanian berpikir melawan arus—apakah itu melawan mitos, atau melawan modernisasi semu.
Terima kasih sudah berbagi info🙏
Terimakasih Kakak..