Chapter 3 – Api, Reruntuhan, dan Harapan yang Hampir Pupus

Aku turun di lampu merah antara Jalan Manggis dan Jalan Kelor. Perasaan campur aduk—lega karena sampai di Baloroa, tapi juga takut dengan apa yang akan kutemukan. Aku menyalami anak muda yang tadi memberi tumpangan, penuh terima kasih. Ia melaju pergi, meninggalkanku di tengah kerumunan orang yang menangis dan berteriak.

Suasana di Baloroa kacau. Tangisan ibu-ibu bercampur dengan suara anak-anak kecil yang ketakutan. Debu tebal masih berterbangan di udara, bercampur dengan asap dan bau hangus. Api menjilat dari kejauhan, semakin membesar, dan cahaya merahnya menorehkan langit malam.

Baru di titik itu aku benar-benar paham: Baloroa bukan sekadar retak atau rusak. Rumah-rumah hancur seperti habis diblender. Bangunan rata bercampur tembok, atap, kayu, dan barang-barang rumah tangga. Aku tidak pernah membayangkan bisa melihat kampung seutuhnya luluh lantak seperti ini.

Hatiku kacau. Pikiranku hanya satu: keluargaku. Kalau mereka selamat, Alhamdulillah. Kalau terjebak, aku harus menolong. Bahkan kalau mereka sudah tiada, aku harus menemukannya, bagaimanapun caranya.

Tanpa pikir panjang, aku nekat menerobos masuk ke Jalan Manggis yang sudah tidak karuan. Gempa susulan masih menggoyang tanah, tapi aku tidak peduli. Aku terus mencari celah di antara seng, kayu, dan reruntuhan beton untuk naik ke atas tumpukan.

Di satu sudut aku melihat seorang bapak berusia sekitar 50-an. Kakinya terjepit kolom rumah yang roboh. Ia berusaha menahan beban dengan sisa tenaga, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat. Orang-orang berkerumun, bingung, sebagian hanya bisa menatap tanpa daya. Aku terpaku sejenak, ingin menolong, tapi pikiranku tetap tertuju pada keluarga. Aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan campur aduk, lalu melangkah lagi, memaksa diriku masuk lebih dalam ke reruntuhan.

Api semakin mendekat. Suhu panas menusuk kulit, debu masuk ke hidung dan tenggorokanku. Setiap langkah adalah perjuangan antara harapan dan ketakutan. Aku hanya bisa menebak-nebak, di mana letak rumah mertuaku, di mana anakku Aryo, istriku, dan semua keluargaku berada.

Hatiku sudah tidak karuan. Aku bingung, kacau, tapi satu hal yang menuntunku terus maju: doa.

Gelap gulita menelan jalanan, hanya sesekali kilatan cahaya dari awan di barat yang seperti menerangi kehancuran. Di telingaku teriakan orang minta tolong datang dari segala arah, suara yang membuat dada semakin sesak. Aku memaksa kaki ini melangkah, menapaki seng yang berserakan, papan yang patah, kaca yang retak.

Rasanya seperti berjalan di atas tumpukan rumah yang “diblender” jadi satu, menggunung tanpa bentuk. Aku kebingungan mencari jalan masuk, tidak ada lagi yang bisa dikenali, hanya reruntuhan dan api yang semakin membesar. Setiap langkah kuambil dengan gemetar — bukan hanya karena tanah masih goyang oleh gempa susulan, tapi juga karena hatiku berperang antara harapan dan ketakutan.

Di atas reruntuhan aku mendengar suara lirih, “Mas… mas… jangan tinggalkan saya.” Aku menoleh, seorang bapak usia sekitar 40-an terjepit di antara seng dan beton. Nafasnya terengah, wajahnya pucat penuh debu. Matanya menatapku dengan ketakutan, memohon.

Aku jongkok, mengintip ke balik seng. Ternyata di bawahnya ada istri dan anaknya yang masih hidup, terjepit puing, tak bisa keluar. “Jangan tinggalin saya, Mas. Jangan tinggalin…” suaranya berulang, semakin parau.

Hatiku kacau. Ingin sekali langsung mengangkat, menarik, menyelamatkan. Tapi aku sendirian, tak punya alat, dan reruntuhan itu bisa runtuh lagi kapan saja. Aku coba menenangkannya: “Jangan panik ya, Mas. Tunggu di sini. Aku cari bantuan ke bawah.”

Dengan berat hati aku turun kembali. Setiap langkah turun rasanya seperti mengkhianati, tapi aku tahu kalau memaksa sendirian, mungkin kami semua akan terkubur. Aku berharap masih ada orang lain yang berani menemaniku naik lagi untuk menyelamatkan mereka.

Aku turun dengan hati gelisah. Tadi di atas reruntuhan ada suara-suara minta tolong yang masih terngiang di kepalaku. Di jalan Manggis, aku lihat banyak orang—ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak—semua dalam keadaan bingung. Ada yang menangis, ada yang hanya diam menatap reruntuhan, entah menonton, entah juga tidak tahu harus berbuat apa.

Aku berteriak keras, suaraku sampai serak:

“Tolong! Ayo ke atas! Masih banyak orang di sana, masih hidup! Cepat tolong! Cepat tolong!”

Awalnya orang-orang hanya memandang, seakan kaku oleh ketakutan. Aku terus memaksa, berteriak lagi sambil menunjuk ke arah reruntuhan. Perlahan ada beberapa yang tergerak, akhirnya beberapa orang ikut naik untuk membantu. Rasanya lega, setidaknya aku tidak sendirian lagi.

Di tengah kerumunan itu, tiba-tiba aku melihat sosok yang sangat kukenal—Ichal. Wajahnya pucat, napasnya terengah, matanya kosong penuh kepanikan. Ternyata dia juga masih mencari keluarganya yang hilang.

“Kau di sini juga, Cal?” aku menahan bahunya.

Dia menatapku sebentar, matanya berkaca-kaca. “Aku belum ketemu keluargaku… aku harus cari mereka…”

Aku pun hanya bisa mengangguk. Tidak ada kata-kata yang bisa menenangkan di saat itu. Kami berpisah lagi di simpang jalan itu, masing-masing dengan beban dan doa sendiri.

Aku menerobos lagi ke reruntuhan, mencoba mencari celah agar bisa masuk ke arah Jalan Kanna. Suara tangisan dan teriakan orang minta tolong terdengar dari berbagai sisi, membuat hati ini semakin kacau.

Di sela-sela seng yang roboh, aku melihat seorang ibu. Dia tidak terhimpit langsung, tapi posisinya seperti jauh di bawah tumpukan reruntuhan. Suaranya parau, putus asa, namun masih kuat berteriak:

“Mas… jangan tinggalkan saya… tolong keluarkan saya… anak saya ada di bawah sini, mereka masih hidup….”

Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. Aku tahu jaraknya dalam, dan aku sendirian tak mungkin bisa mengangkat reruntuhan sebesar itu. Aku balas dengan suara bergetar, “Tenang, Bu… insyaAllah ada bantuan segera. Jangan panik. Saya harus cari keluarga saya dulu. Saya akan kembali….”

Langkahku terasa sangat berat saat meninggalkan suara itu. Seakan-akan aku sedang menarik beban yang lebih besar daripada tubuhku sendiri. Tapi aku sadar: tenagaku terbatas, pikiranku hanya pada Aryo dan keluarga.

Aku terus merayap, berteriak sekeras-kerasnya:

Aryo… Aryo…

Suaraku menggema di antara puing-puing. Tapi yang menjawab hanya suara tangisan lain, jeritan orang-orang, dan dentuman kecil reruntuhan.

Di tengah reruntuhan, tiba-tiba HP-ku berdering. Suara nyaring itu membuatku kaget, seolah membangunkan dari kekacauan pikiran. Nomor baru, tidak kukenal. Dengan tangan gemetar aku angkat, dan ternyata itu Kak Ardi, kakaknya istriku yang sedang di Jakarta.

Suaranya panik bercampur cemas.

“Bagaimana di Palu? Bagaimana keluarga?”

Aku menarik napas panjang, suaraku bergetar, “Kak… saya belum ketemu mereka. Saya berharap mereka sempat lari ke Kabonena. Tapi di sini… rumah-rumah hancur, Kak. Seperti di-blender….”

Hening sejenak di ujung telepon. Hanya terdengar isak tertahan. Tak lama, jaringan hilang, telepon terputus.

Aku menatap layar HP yang gelap, lalu menengadah ke langit. Aneh sekali, langit begitu terang, bintang-bintang mulai tampak, seolah malam ini akan indah. Tapi kenyataan di bawah begitu ironis: kegelapan total, teriakan minta tolong, api, debu, reruntuhan, dan jiwa-jiwa yang terguncang.

Biasanya aku punya kebiasaan merekam dengan HP, mengabadikan momen. Tapi hari itu, jangankan untuk mendokumentasikan, memegang HP pun aku lupa. Semuanya hanya tentang selamat dan menemukan keluarga. Akhirnya, dengan setengah hati, aku coba mengangkat iPhone 7-ku, menekan tombol kamera, berharap bisa merekam.

Inilah rekaman yang masih tersisa.



“Rekaman singkat malam 28 September 2018 di reruntuhan Balaroa.”

Getir sekali rasanya. HP kuletakkan kembali di saku. Aku sadar, ada hal-hal yang memang tidak perlu diabadikan oleh kamera, tapi langsung terpatri dalam ingatan, dan mungkin tak akan pernah hilang seumur hidup.

Langkahku gemetar tapi tetap kupaksakan. Aku terus maju sambil memanggil, suara tercekat, hampir hilang oleh tangis:

Aryo… Aryo…”Nama itu kuucapkan berulang-ulang, seakan setiap kali memanggil, ada harapan anakku akan menjawab, “Iya, Yah…”Tapi sampai saat itu, yang menjawab hanya sunyi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top