Chapter 2 – Malam Panik dan Jalanan yang Gelap

Jalanan mulai macet total. Banyak ruas jalan terputus akibat gempa. Orang-orang panik, sebagian berlari, sebagian lain mencoba kabur dengan kendaraan, semua dengan wajah penuh ketakutan.

Malam mulai turun. Lampu jalan padam, kota Palu tenggelam dalam kegelapan. Gempa susulan terus terasa. Tiang listrik berayun-ayun, kabel bergoyang di atas kepala. Dari arah berlawanan, orang berlarian sambil berteriak, “Air! Tsunami!”

Saya tetap berusaha positif thinking. Dalam hati, saya yakin keluarga sudah menyelamatkan diri ke daerah Kabonena, dataran yang lebih tinggi di atas Balaroa. Meski telepon tak pernah tersambung, saya mencoba menenangkan diri dengan keyakinan itu.

Kemacetan semakin parah. Akhirnya saya tinggalkan mobil dan memutuskan berjalan kaki. Gelap gulita. Listrik mati total. Keringat deras mengalir, napas terengah. Seumur hidup, belum pernah saya berlari sejauh itu.

Sampai di Jalan Moh. Hatta, saya melihat Hotel Santika. Para tamunya sudah keluar, berdiri di jalanan. Saya tak berhenti, hanya melambat sebentar, lalu kembali berlari kecil. Tubuh lelah, tapi hati terus memaksa untuk maju.

Di Jembatan Hasanudin, seorang bapak tua berdiri di pinggir jalan. Ia berkata,

“Nak, jembatan Ponulele sudah rubuh.”

Saya kaget. Sempat berpikir ia bercanda. Dengan senyum kaku, saya tetap berjalan. Dalam hati saya hanya bisa berdoa:

Ya Allah, selamatkan keluargaku…

Sampai akhirnya ada secercah kabar baik: sebuah panggilan masuk. Mas Agung, kakak tertua saya, menelepon. “Alhamdulillah, saya selamat, sekarang menuju rumah Lagarutu.” Hati saya sedikit lega. Setidaknya sebagian keluarga aman. Tinggal menunggu kabar dari istri dan keluarga di Balaroa.

Saya terus berjalan. Kota makin sepi, hanya sesekali motor melintas. Di Jalan Gajah Mada, saya nekat mencegat seorang anak muda yang mengendarai motor. Dengan nafas tersengal, saya memohon,

“Nak, tolong antarkan saya ke Balaroa.”

Syukurlah, ia mau membantu. Saya naik ke belakang motornya, sambil terus mengucap terima kasih.

Namun rasa was-was kian menjadi. Di Jalan Sis Aljufri, langit barat terlihat terang oleh cahaya merah. Saya kira itu kebakaran Pasar Inpres. Tapi saat kami lewat, ternyata pasar itu gelap gulita. Api itu berasal dari arah barat—Balaroa.

Hati saya mulai gundah tak karuan. Rasa takut yang sejak tadi saya tekan, kini pecah menjadi kecemasan yang sulit dibendung.

1 komentar untuk “Chapter 2 – Malam Panik dan Jalanan yang Gelap”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top