Beragama Itu Harus Rasional: Dari Memilih Tuhan, Nabi, hingga Penerusnya

Banyak orang beragama karena warisan. Mereka mengikuti agama orang tua, lingkungan, atau sekadar kebiasaan. Padahal, kalau kita bicara tentang iman dan hidup, tidak ada hal yang lebih serius daripada beragama secara sadar dan rasional.

Mengapa? Karena agama menyangkut makna hidup, orientasi moral, dan bahkan nasib setelah mati. Kalau pilihan agama hanya ikut-ikutan, bagaimana kita bisa yakin bahwa jalan yang kita tempuh benar?

Memilih Tuhan dengan Rasional

Pertanyaan pertama yang mendasar: Apakah Tuhan itu ada, dan siapa Tuhan yang benar?

Akal sehat akan menolak politeisme (Tuhan banyak) karena melahirkan kontradiksi. Kalau Tuhan banyak, siapa yang paling berkuasa? Kalau berbeda kehendak, siapa yang menang? Maka, secara rasional, konsep Tuhan yang Esa, Absolut, Tidak bergantung, dan sumber segala yang ada lebih masuk akal.

Karena itu, tauhid (keesaan Tuhan) adalah fondasi beragama yang paling rasional.

Memilih Utusan Tuhan (Nabi)

Tuhan yang Mahabijak tentu tidak membiarkan manusia berjalan tanpa petunjuk. Maka Dia mengutus nabi. Tapi bagaimana membedakan nabi sejati dari orang biasa yang mengaku nabi?

Secara rasional, ada kriteria:

  1. Integritas pribadi → Nabi tidak mungkin berdusta atau mengejar kepentingan pribadi.
  2. Ajaran yang konsisten → Tidak kontradiktif, membawa kebaikan universal.
  3. Mukjizat / tanda autentik → Bukan sulap atau trik, tapi bukti otoritas ilahiah.
  4. Diterima lintas zaman → Pesan Nabi terus relevan, tidak lekang oleh waktu.

Dengan standar ini, umat manusia mengenal sosok-sosok seperti Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad ﷺ.

Memilih Penerus Nabi

Masalah besar setelah wafatnya Nabi adalah siapa penerus yang sah. Apakah cukup kitab (teks)? Atau butuh figur otoritatif yang menjaga pesan tetap murni?

Secara rasional, warisan Nabi pasti butuh penafsir autentik. Tanpa itu, agama akan tercerai-berai oleh tafsir bebas. Maka, umat perlu mempertimbangkan:

  • Apakah penerus ditunjuk langsung (nash/penunjukan)?
  • Atau hasil konsensus?

Sejarah mencatat, dua model ini melahirkan perbedaan besar di kalangan umat Islam (Syiah vs Sunni). Tapi, apapun jalannya, akal tetap menuntut agar pemimpin agama setelah Nabi harus:

  1. Memiliki pengetahuan mendalam.
  2. Terjaga integritas moralnya.
  3. Bukan haus kekuasaan.

Beragama: Antara Rasionalitas dan Spiritualitas

Beragama rasional bukan berarti kering dari spiritualitas. Justru sebaliknya: iman yang rasional melahirkan spiritualitas yang kokoh. Kita berdoa, beribadah, dan beramal bukan karena ikut-ikutan, tapi karena sadar itulah jalan hidup paling benar.

Akal dan hati bertemu. Agama menjadi cahaya, bukan beban.

Penutup

Beragama itu terlalu penting untuk sekadar diwarisi. Harus ada proses sadar, pencarian, dan pembuktian rasional.

  • Tuhan dipilih dengan argumen.
  • Nabi diikuti dengan bukti.
  • Penerus Nabi diterima dengan nalar.

Dengan begitu, agama menjadi pegangan hidup yang kokoh: tidak mudah goyah oleh zaman, tidak rapuh oleh keraguan, dan tidak buta oleh fanatisme.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top