Tembok itu terasa mustahil digeser. Balok kayu besar menindih dari atas, setiap kali kami mencoba mengungkit dengan kayu lain, tembok hanya bergeser sedikit lalu kembali menghantam. Aku, Idham, dan beberapa orang lain sudah kehabisan tenaga, tapi kami tidak berhenti.
Di bawah reruntuhan, pasangan suami-istri tetangga yang masih hidup terus memohon-mohon:
“Jangan tinggal kami… tolong keluarkan kami…”
Kami hanya bisa menjawab dengan suara gemetar, “Sabar, insyaAllah kita selamatkan. Tunggu sebentar.”
Sementara itu, api di depan sudah makin dekat. Hawa panasnya sampai terasa di kulit, bahkan menjilat kaki istriku yang masih terjepit tanah. Ia menangis, tubuhnya bergetar, dan dengan suara lirih yang menusuk hati ia berkata:
“Potong saja kakiku, kak… potong saja, daripada aku mati terbakar…”
Hatiku hancur mendengarnya. Aku langsung memeluknya, menatap matanya, dan berkata tegas walau dalam hati aku rapuh:
“Tidak! Bismillah kamu selamat. Kita bisa keluarkan. Jangan bicara begitu…”
Aku terus menenangkan istriku, meski diriku sendiri sudah mulai kehilangan arah. Setiap kali balok digeser, setiap kali tangan terkoyak oleh puing-puing tajam, aku hanya bisa menyebut nama Allah, berharap diberi kekuatan lebih dari manusia biasa.
Waktu berjalan begitu lambat. Malam terasa seperti berabad-abad. Suara orang menangis, teriakan minta tolong, dan gelegar api membuat semuanya semakin mencekam. Tapi satu hal yang menguatkanku: aku tidak boleh menyerah.
Tubuh kami benar-benar sudah di batas. Otot pegal, tangan bergetar, dan setiap tarikan napas seperti ada beban yang menindih dada. Baju sudah basah oleh keringat, lengket, dan dingin saat angin malam menelusup masuk. Tapi tatapan kami saling bertemu, dan dalam diam seakan ada kesepakatan yang sama: mundur bukan pilihan.
Kami tahu tembok itu mustahil diangkat, terlalu besar dan kokoh. Maka kami hentikan cara lama. Tidak lagi mengandalkan tenaga buta. Kami ambil batu, kayu, apa saja yang bisa dijadikan alat. Retakan kecil mulai terlihat—nyaris tak berarti, tapi cukup untuk menyalakan secercah harapan.
Setiap hantaman bukan hanya melukai tembok, tapi juga menguji hati. Sakit di tangan menjadi musik latar, bunyi “krek” pada retakan terdengar seperti kemenangan kecil. Dan anehnya, meski tubuh semakin lelah, semangat justru makin terpompa.
Kami sadar, tembok itu memang tak akan runtuh dalam sekali gebrakan. Tapi ia bisa menyerah pada ketekunan. Pecah demi pecah, runtuh demi runtuh. Di situlah kami belajar: ternyata yang menaklukkan bukan hanya tenaga, tapi kesabaran untuk terus mencoba, meski jalan terasa tanpa ujung.
Alhamdulillah, pelan-pelan tembok itu mulai pecah. Retakan kecil muncul, lalu terbuka sedikit demi sedikit. Kami menggali dengan tangan penuh luka, Idham mendorong dari sisi lain, napasku terengah-engah.
Dan akhirnya… terbukalah ruang sempit itu. Terlihat empat tubuh di bawahnya.
Kak Marma.
Seorang ibu dan bapak tetangga tadi.
Dan Aryo… anakku, dalam pelukan Kak Marma.
Aku langsung meraih tubuh kecil itu. Penuh debu, dingin, dan kaku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Air mata jatuh tanpa bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya, histeris, sementara istriku menjerit dari tempatnya yang masih terjepit.
Dengan tangan gemetar, aku menyerahkan jenazah Aryo ke pangkuannya. Istriku mendekap erat, terisak, suaranya pecah memanggil nama anak kami.
Idham hanya bisa menunduk, suaranya parau:
“Yang bapak-bapak sudah meninggal… ibu itu masih hidup…”
Aku terdiam, tubuhku limbung. Antara rasa syukur ada yang selamat, dan rasa hancur kehilangan yang tak bisa digambarkan. Malam itu, di bawah langit merah terbakar, aku hanya bisa berucap lirih:
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Kaki kanan istriku masih tertanam kuat di tanah yang keras seperti semen, padahal itu tanah lembek yang telah berubah menjadi lumpur likuifaksi. Setiap kali aku mencoba menggali dengan tangan kosong, tanah terasa padat, sulit ditembus. Rambatan panas dari api yang makin dekat membuat tanah itu terasa hangat, bahkan panas di telapak tanganku.
Aku panik. Waktu terasa semakin sedikit. Asap makin tebal, napas makin sesak. Aku berlari mencari apa saja yang bisa dipakai sebagai alat—potongan seng, kayu patah, bahkan batu. Dengan semua itu aku mulai menggali pelan-pelan di sekitar kaki istriku. Setiap genggam tanah kuangkat dengan tenaga terakhir yang kupunya.
“Bismillah, kamu selamat… kamu harus selamat…” hanya itu yang terus kuucapkan sambil menggali.
Istriku menahan sakit luar biasa. Sesekali ia menjerit, sesekali menangis, tapi lebih sering hanya menggigit bibirnya agar tidak pingsan. Air matanya bercampur debu di wajah. Aku menatapnya dan berkata lirih, “Tolong bertahan, sebentar lagi… aku janji kita bisa keluar…”
Idham ikut membantu, mencoba mencungkil tanah dengan kayu panjang. Beberapa warga yang tadinya menonton akhirnya ikut mendekat, meski dengan wajah takut karena api sudah makin besar. Kami bergantian mengeruk, mengangkat, mencungkil, sambil terus berusaha menahan panik.
Setiap detik terasa seperti satu jam. Tapi aku tidak boleh menyerah. Karena di bawah reruntuhan itu ada nyawa yang masih hidup: istriku.