Chapter 4 – Saat Menemukan, Saat Kehilangan

Malam itu terasa seperti neraka di bumi. Aku masih terus menyusuri reruntuhan, meski tubuh sudah penuh lumpur dan keringat bercampur air mata. Setiap langkah terasa berat, setiap teriakan “Aryo… Aryo…” seakan tenggelam dalam suara gemuruh susulan gempa dan tangisan orang-orang yang selamat.

Aku sudah beberapa kali menjumpai korban yang masih hidup namun terjepit di bawah reruntuhan. Mereka berteriak, meminta jangan ditinggalkan. Hatiku pilu, aku hanya bisa menenangkan mereka: “Sabar, insyaAllah ada bantuan datang… tunggu sebentar, aku harus cari keluargaku.” Kata-kata itu keluar dengan getir, karena di hatiku aku tahu aku meninggalkan mereka dalam keadaan tak berdaya.

Aku terus berjalan ke arah yang kurasa adalah rumah. Semua sudah porak-poranda, tak ada lagi bentuk jalan yang bisa dikenali. Hanya firasat dan ingatan yang menuntunku: ke selatan, seratus meter dari tempatku berdiri. Di tengah reruntuhan, aku terjatuh berkali-kali ke kubangan lumpur, tapi tetap bangkit.

Akhirnya, aku melihat tanda yang membuat hatiku bergetar: pohon pucuk merah yang dulu berdiri di depan rumah, kini tumbang. Paving yang berserakan pun terasa familiar. Aku yakin, ini rumahku. Dengan napas tersengal aku terus berteriak, “Aryo… Aryo…” berharap ada jawaban.

Lalu, dari kegelapan, terdengar suara yang sangat kukenal: “Disini kak Adit!” Itu suara Idham, adik istriku. Aku berusaha keras mendekat, merayap di antara reruntuhan yang masih panas karena api semakin dekat. Campur aduk rasanya — antara cemas, panik, dan harapan.

Dan benar, di titik itu aku menemukan istriku. Ia terduduk menangis, salah satu kakinya terjepit tembok. Dengan suara terbata ia berkata: “Aryo… meninggal… sama Kak Marma di bawah.” Hatiku langsung runtuh, aku hanya bisa mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Kurogoh bagian bawah tembok itu. Getir sekali. Di sana aku menemukan tubuh kecil Aryo. Dingin. Istriku bercerita sebelum meninggal, Aryo sempat batuk-batuk. Aku hancur, tak tahu harus benci pada siapa: pada gempa ini, pada takdir, atau pada kelemahanku.

Dan ternyata, di bawah tembok yang menimpa kaki istriku, ada Kak Marma. Ia memeluk Aryo erat sekali. Dua-duanya sudah tak bernyawa. Bersama mereka, ada pula dua orang tetangga di belakang rumah, sepasang suami-istri berusia sekitar 60 tahun. Berbeda nasib, keduanya masih hidup meski terjebak di lubang itu, hanya bisa memohon tolong.

Di tengah keterpurukan itu, Idham sempat menenangkan aku. Dengan suara tercekat ia berkata bahwa bapak mertua selamat. Katanya, saat gempa terjadi bapak baru saja hendak mengambil air wudhu di mushola belakang rumah. Guncangan besar membuat semua terlempar. Bapak terselamatkan, dan Idham langsung membawanya ke tempat aman, di halaman rumah Pak Camat — tak jauh dari lokasi, tapi di daerah yang tidak terkena likuifaksi.

Mendengar kabar itu, hatiku sedikit lega. Walau belum bertemu langsung dengan bapak malam itu, aku tahu setidaknya beliau masih hidup.

Waktu sudah hampir pukul 10 malam ketika aku benar-benar sampai di titik keluargaku. Api menjilat sekitar 50 meter dari tempat kami berdiri. Aku, Idham, dan temannya berusaha keras menyingkirkan tembok besar yang menimpa tubuh Kak Marma dan Aryo, serta menyelamatkan dua tetangga yang masih hidup.

Malam itu adalah malam paling panjang, paling getir, paling mencekam dalam hidupku. Malam ketika aku menemukan anak dan kakak iparku sudah tiada, tapi juga malam ketika aku bersyukur masih bisa memeluk istriku yang selamat, meski dengan luka yang dalam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top