Sore itu, 28 September 2018, sekitar jam tiga, bumi Palu mulai bergetar. Guncangan 5 SR terasa di daerah Sirenja, Donggala. Saat itu saya sedang duduk santai di Warkop Pinbuk bersama seorang sahabat, Pak Tony Mangitung.
“Tenang saja, Palu ini memang sudah biasa gempa,” katanya. Ucapannya membuat saya sedikit tenang, walau rasa tidak nyaman tetap ada di dada.
Tak lama kemudian saya berpamitan, karena ada janji rapat di My Kopi O dengan seorang komisaris, Ichal. Ia datang ditemani anaknya, Zahra, murid kelas satu SD Al-Azhar. Zahra sempat bercerita singkat tentang sekolah barunya—anak kecil yang polos, tak tahu apa yang akan terjadi sore itu.
Menjelang magrib, tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras. Lantai berguncang hebat, hiasan di lobi, botol, gelas, piring berjatuhan. Lampu gantung pun roboh, bahkan saya sempat melihat Ichal terkena hantaman lampu hias.
Saya berusaha bersembunyi di bawah meja—seperti yang diajarkan di SD kalau ada gempa. Suasana panik, semua orang berteriak mencari perlindungan.
Kami akhirnya berlarian ke pintu belakang, keluar ke area parkiran. Debu membumbung tinggi, udara penuh sesak, tapi kami lega karena semua yang ada di kafe selamat.
Di luar, semua orang sibuk menghubungi keluarganya. Ichal mencoba menelpon istrinya, saya pun mencoba menghubungi keluarga di Balaroa, di mana anak saya, Aryo, sedang bersama kakak ipar Marma dan mertua. Tapi panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua malah langsung tidak aktif.
Jantung saya berdegup kencang. Ichal juga cemas, karena rumahnya di Pasar Inpres, tidak jauh dari Balaroa. Jalanan mulai macet, kepanikan orang-orang tak terbendung. Kami akhirnya memutuskan untuk berpisah, mencari keluarga masing-masing.
Saya mencoba berpikir positif—“mungkin jaringan telepon lumpuh, semua pasti baik-baik saja.” Tapi jauh di dalam hati, rasa takut perlahan mulai merayap.
Al Fatihah 🙏